Cerpen Nyoman Tusthi Eddy (Kompas, 5 Mei 2013)
NAMANYA I Petu. Bagi orang Bali nama itu nama yang buruk; sebab Petu adalah nama sejenis kera. Tetapi lelaki itu tampaknya puas dengan namanya. Nama itu adalah pemberian ibunya yang sangat dicintainya.
Nama itu punya riwayat yang berhubungan dengan kepercayaan mistik dan takhayul ibunya. Seorang dukun pernah memberitahukan ibunya, jika ingin punya anak sehat, dan berumur panjang ia harus memberikan nama buruk dari nama hewan dan tidak memotong rambutnya seumur hidup. Ibunya yang sudah kehilangan dua anak karena meninggal berkaul sesuai dengan saran sang dukun.
I Petu adalah anak ketiga. Ia lahir sehat. Tangisnya melengking keras memecahkan malam dan menggedor dinding gedeg pondoknya. Sang ibu pun bahagia menyambut kelahiran anaknya. Ia sangat yakin kaulnya akan terkabul.
Rupa anaknya sangat mirip dengan namanya. Kulitnya kehitam-hitaman, mulutnya agak monyong, telinganya lebar, rambutnya kemerah-merahan. Orang yang melihat tanda-tanda ini akan berkata, “Oh, persis Petu.”
Ibunya tak pernah peduli dengan ejekan orang-orang desa, karena harapannya untuk punya anak telah tercapai. Lagi pula I Petu adalah anak yang menyenangkan. Ada tanda-tanda si anak akan menjadi anak penurut dan cekatan mengerjakan sesuatu.
Pada usia 15 tahun I Petu bukan saja membahagiakan orangtuanya, tetapi membuat kedua orangtuanya tercengang dan kagum. Larinya sangat cepat, cekatan memanjat pohon, tidak pernah takut keluar rumah dan bepergian malam hari.
Suatu malam I Petu menghilang dari rumahnya. Orangtuanya mencari ke seluruh pelosok. Seluruh ladang telah dijajaki. Juga pohon-pohon rindang yang biasa dipanjatnya. Tapi I Petu tidak dijumpai. Beberapa orang tetangganya ikut mencari, membawa obor daun kelapa sambil berteriak-teriak memanggil namanya. Tapi I Petu tidak juga muncul.
Ibunya bersimpuh di atas pematang tegalan sambil menangis. Ia membayangkan anaknya telah diculik oleh memedi [1] atau bakek [2] untuk dijadikan warga dan mengembangkan keturunan di sana.
“Oh, memedi, Oh, bakek di seluruh tegalan; kembalikan anakku! Kalian boleh minta nasi, minta ayam, minta babi, asalkan jangan anakku.” Ia menutup mukanya dengan tangannya sambil menangis histeris.
Tiba-tiba seorang tetangganya menemukan I Petu sedang duduk di muka dapur sambil makan dengan tenang. Ibunya memeluknya sambil menangis karena terharu dan bahagia.
“Petu, ke mana saja kamu? Lihat tetanggamu semua geger mencarimu. Ibu khawatir kamu dilarikan memedi atau bakek.”
“Ah, saya ada di dapur mengambil makanan.”
“Tapi ibu tidak melihatmu.”
“Oh, masa?” I Petu tersenyum-senyum.
Hal lain yang mengagumkan orangtuanya adalah kepandaian I Petu menari. Seingat orangtuanya ia tak pernah mengajar anaknya menari; atau belajar menari dari orang lain. Sore-sore jika hari cerah ia sering menari di bawah pohon manggis di belakang rumahnya. Tetapi ia segera menghentikan tariannya jika kepergok orangtuanya atau diintip oleh kawannya.
Pada umur 16 tahun untuk pertama kali ayahnya mengajak ia menari di Pura Dadia [3]. Orang-orang desa terkejut.
“I Petu mau ikut menari?”
“Ia mau menari pendet [4] ikut kita.”
“Dengan kain dan selempod [5] itu?”
“Ya, dengan itu. Ia tak suka berpakaian bagus.”
“Ia adalah petu.” Kata yang lain sambil berseloroh.
Tatkala tabuh baru saja mulai I Petu sudah siap menari dengan seluruh jiwa raganya. Ia tak lagi I Petu. Ia seorang penari pendet.
Dalam dua kali putaran orang-orang tercenung melihat tariannya. Gerak tangan, kaki, mata, dan kepala tak lagi I Petu. Ia seorang penari pendet yang memukau setiap orang. Orang-orang pun berbicara lain tentang dirinya.
“Apakah benar itu I Petu?”
“Siapa yang mengajar ia menari?”
“Siapa lagi kalau bukan I Petu. Rambut dan kulit tubuhnya jelas menandakan ia I Petu.” Seseorang berkata menyindir. Tetapi tak ada yang menggubrisnya. Semua orang tersihir oleh tariannya.
Usai menari para penari menuju Bale Los [6] untuk beristirahat. I Petu duduk agak menyisih sambil membersihkan keringatnya dengan ujung kainnya yang kusam.
“Petu, siapa mengajar kau menari?” Seorang temannya mendekat dan duduk bersama.
“Tak ada yang mengajar, tapi aku bisa.”
“Ah, kamu sombong.”
“Saya hanya belajar sendiri di rumah.”
“Apakah ayahmu yang mengajar?”
“Ayahku hanya bisa membajak, menggembala sapi, dan memetik kelapa. Hanya itulah kepandaiannya.”
“Kalau begitu sewaktu-waktu aku akan ke rumahmu belajar menari bersama kamu.”
I Petu hanya tersenyum hambar karena ia tidak serius menanggapi perkataan temannya.
Umurnya sudah lebih dari 20 tahun. Ia belum juga kawin karena selalu gagap dalam mengawali percintaan. Gadis-gadis desa pun jarang mendekatinya. Mereka risi, jijik, dan sejenisnya. Ibunya sudah membayangkan ia akan menjadi jejaka tua; karena di desanya usia 20 tahun sudah dianggap tua untuk kawin.
Mungkin ia tahu diri, sehingga menyisih dari pergaulan dengan gadis-gadis. Ia selalu berusaha agar tidak bertemu muka. Jika kepergok di jalan ia akan menundukkan kepala sampai gadis-gadis yang berpapasan jauh berlalu. Jika seorang gadis menegurnya ia akan menjawab tanpa menoleh.
Satu-satunya yang menyulut gairahnya adalah menari di pura. Ia sering membayangkan dirinya menari di sebuah pura besar sampai beberapa puluh putaran, sampai orang-orang terpukau menyaksikan. Bila sedang berkhayal begini rasa bahagia mengaliri dadanya; kebahagiaan yang tak pernah ia peroleh di tempat lain.
Ia sedang terbaring sakit. Tubuhnya panas dan kepalanya pusing. Tapi tatkala diingatnya besok ia harus menari di pura desanya, segalanya menjadi baik kembali. Ia merasa sehat dan tak sabar menanti hari esok.
“Petu, besok tak usah kau ikut menari; kamu masih sakit.” Ayahnya mencoba membujuk agar dia tidak menuruti kehendaknya.
“Ayah melarang saya menari? Jadi ayah melarang saya beribadah?”
“Bukan, bukan itu maksud ayah. Jangan menari besok. Ikutlah menari lagi tiga hari pada saat Penyineb Odalan. [7]”
“Ayah boleh melarang, tapi saya akan tetap ikut menari. Menari adalah obat saya. Dengan menari saya akan sembuh.”
“Petu, jangan membantah ayahmu!” Ibunya menimpali dari dapur.
Tiba-tiba ia menembang untuk menyatakan dirinya tidak sakit. Ayahnya menganggap anaknya mengigau karena sakit. Ia bangun dari tempat tidurnya lalu mengambil ancang-ancang untuk menari sambil menirukan bunyi tabuh dengan mulutnya. Kadang-kadang diselingi dengan tembang. Ayahnya terpaksa mencekau tangannya dan menuntunnya kembali ke tempat tidur.
Napasnya terengah-engah. Ia menangis dan menyembunyikan kepalanya di bawah bantal. Ayahnya mencoba membujuk lagi.
“Baiklah, besok kamu boleh ikut menari asalkan sekarang mau tidur dan berobat.” Di matanya timbul cahaya bahagia setelah mendengar kata-kata ayahnya. Dihapusnya air matanya sampai bersih lalu berbicara dengan perasaan cair kepada ayahnya.
“Ayah, besok hari Purnama. Bulan akan bulat penuh. Hari paling baik untuk menari di pura.”
“Ya, tapi kurang baik kalau kamu masih sakit.”
“Percayalah Ayah, besok saya pasti sembuh.”
“Ayah masih waswas.”
“Jangan khawatir! Ayah tidak akan kecewa. Nih, lihat! Sekarang sakitku sudah hilang.” Ia bangun dan duduk di tempat tidur.
“Ayah, besok akan kupakai kain yang baru, dan selempod baru yang diberikan ibu. Aku akan menari sepenuh hati. Aku akan berputar-putar di seluruh halaman pura. Akan kujelajah lapis langit dengan seluruh jiwa ragaku. Bila bulan telah bergeser di langit aku akan mencapai puncak ibadahku.” Ia tertawa terkekeh-kekeh dan mengembang-ngembangkan tangannya seperti orang menari. Ayahnya tahu anaknya sedang mengkhayalkan dirinya sebagai penari ulung; tapi khawatir juga jangan-jangan anaknya stres atau sudah menjadi gila. Ayahnya mencoba menenangkan diri sambil memandang anaknya dengan penuh tanda tanya yang tak terjawab.
Dengan kain dan selempod baru I Petu telah mengambil ancang-ancang untuk menari. Wajahnya tampak berwibawa karena di telinga kirinya disumpangkan setangkai hibiskus merah. Destar putihnya memberikan nuansa lembut yang membiaskan kesucian hati. Tak sedikit pun tampak sebagai orang sakit. Ayahnya yakin anaknya sudah sehat.
Orang-orang di dapur pura berlarian keluar. Mereka terpukau melihat I Petu menari. Gerakannya menyatu dengan tabuh yang mengiringi. Ia baru berputar dua kali ketika orang-orang bergumam kagum.
“Luar biasa, ia bukan I Petu. Ia penari bertaksu [8].”
“Belum pernah ia menari sebaik ini. Taksunya benar-benar merasuki raganya.” Penonton lain menimpali. Seseorang mendekati ayahnya yang berdiri di bawah pohon angsoka.
“Anak Bapak akan menjadi penari terhebat di desa kita. Ia memukau semua orang. Bertaksu, benar-benar bertaksu.” Katanya terkagum-kagum.
Tiba-tiba pada putaran kesepuluh ia rebah di tengah-tengah halaman pura. Saat itu bulan telah bergeser di langit. Beberapa orang memapahnya dan menidurkan di Bale Los. Sekujur tubuh mandi keringat, dan napasnya memburu. Tapi wajahnya membiaskan rasa puas dan bahagia. Ibunya menangis di sampingnya sambil membersihkan keringatnya. Pengurus pura sibuk mencari bantuan. Ada yang mencari balian [9] ada yang memanggil Jero Mangku [10].
Bantuan belum datang. Tiba-tiba I Petu bangun dan tertawa terbahak-bahak. Ia mengembang-ngembangkan tangannya sambil berkata meracau.
“Aku telah menjelajahi lapis langit; berputar ratusan kali, dan menggeser bulan di langit. Telah kutinggalkan jejak tarianku di langit ketujuh. Ibadahku telah purna.” Tertawanya semakin keras.
Orang-orang di sekitarnya saling pandang. Mereka gugup dan bingung. Tanpa menoleh kepada seseorang ayahnya berkata, “Anakku sedang sakit. Bantu aku mengajaknya pulang.” (*)
Keterangan:
[1] Memedi = nama sejenis makhluk halus
[2] Bakek = nama sejenis makhluk halus
[3] Pura Dadia = Pura keluarga luas yang masih ada ikatan darah
[4] Pendet = nama tari Bali
[5] Selempod = kain yang dililitkan di pinggang
[6] Bale Los = balai-balai panjang
[7] Penyineb Odalan = hari terakhir rangkaian upacara di Pura
[8] Taksu = kekuatan spritual yang dimiliki seorang penari
[9] Balian = dukun
[10] Jero Mangku = salah satu nama gelar pemimpin upacara di Pura