Cerpen Eko Triono (Kompas, 28 April 2013)
SEBELUM kau bertanya, “Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?” hujan lebih dahulu berwarna tembaga.
Merkuri yang tinggi, tegak dan melengkung; berbaris menundukkan kepala di sisi jalan provinsi J, dan kita mengira mereka sedang sibuk, atau mungkin berkabung, pada lalu lintas yang senantiasa bergegas, seperti saat, seperti waktu (yang kerap terlepas dan bersambung). Penerangan dalam bus dimatikan, sejak beberapa jam yang lalu.
Penumpang yang lain sepenuhnya mengantuk; nyaris terlelap, punah dari jaga seolah mereka akan tinggal di bus ini untuk selama-lamanya. Lelehan hujan yang mengalir pada jendela kaca jatuh lebih nyata dari yang semestinya. Dan, entah mengapa, tiba-tiba kita saling bertanya: benarkah di suatu kota, hujan dan gerimis dapat berubah menjadi logam? Dan hari akan bercadar, dan, kita benar akan sampai? *
Kau senyum tipis: jadi logam mulia, atau, logam hina?
Aku mengangkat bahu.
Itu bukan soal.
Kita saling meletakkan pandangan di dalam perasaan masing-masing.
Dan di luar, cuaca saat ini adalah kabut dalam lanskap gelap rawa-rawa pantai. Ada pula nuansa kota-kota yang kita lintasi; lapak-lapak tenda dengan lampu neon 15 watt, tempat isi ulang pulsa, ATM, penjual buah, rumah-rumah dengan beranda, restoran, apotek 24 jam, gambar-gambar kangen di bak truk, pasangan yang saling berbonceng dengan lambat, dan itu, sepotong bulan biskuit yang selalu terlambat 4 menit; bergelantung pada kemiringan 300 di arah Timur.
Dan kau mulai bercerita soal bulan. (Cerita yang tidak kusukai karena alasan pribadi).
Bahwasanya, pada suatu malam yang ceria, hari Sabtu, kalian pernah duduk-duduk di halaman rumah kontrakan. Zafin, putra kecil kalian, begitu menggemaskan. (Aku membayangkan bentuk muka, pakaian, dan gaya sisiran rambutnya). Dan, katamu kemudian, sepotong bulan biskuit, muncul dari semak-semak nyiur, dari arah sungai yang tersembunyi arusnya.
Zafin terpesona melihatnya. Ia kemudian bilang:
“Mama, mengapa malam-malam begini ada matahari?”
“Itu bukan matahari, sayang,” katamu (disertai senyum ingatan geli), “itu bulan.”
Dan kamu tahu? Zafin memandang penuh takjub, tak henti-henti, hingga seluruh sinar bulan itu menggenang di air mukanya. Dan tak kusangka memang, ternyata, ia baru pertama kali lihat yang namanya bulan. Ia pun bertanya lagi, ‘Itu bulan siapa, Ma?’ Kami sempat bingung. Kujawab saja, itu bulan kepunyaan Tuhan, sayang. Dan ia malah lanjut bertanya, ‘Tuhan? Siapa dia? Kakek-kakek nelayan ya? Mengapa dia menaruh bulannya di sana? Rumahnya di seberang sungai ya, Ma? Kita main ke sana yuk! Kita pinjam bulannya, buat dipasang di kamar Zafin.’ Kami terdiam. Antara lucu dan tak mengerti isi pikiran Zafin. Untung ada penjual molen lewat. Zafin suka molen pisang. Dan pertanyaan tadi, ia abaikan dalam seketika.
Aku minta izin padamu untuk merasa gembira, tepuk tangan, dan berkata, bahwa barangkali, putramu itu akan menjadi seorang filsuf, atau, penyair.
(Meski sebenarnya aku muak dengan kebahagiaan kalian, dan, benci mengatakan pujian palsu).
Kusebut-sebut perihal mukjizat yang seringkali terabaikan, teralihkan oleh dorongan menjadi ideal yang lain. Kau menanggapi dengan baik. Malahan, kau menyinggung-nyinggung tentang seorang penyair, yang karena patah hati, lalu memilih jadi relawan di daerah konflik. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Di sana, kata dia, hujan malah berubah jadi peluru. Tajam dan seringkali berdarah. Kelaparan, pengungsi, kemah-kemah penuh penyakit, mi instan, dan seterusnya.
Dia masih muda, tapi sayang, cinta yang gagal membuatnya lebih menderita 10 tahun dari usia kebahagiaan yang seharusnya dia miliki. Hari-harinya adalah menulis laporan pembantaian, tinggal di antara orang-orang yang tak lagi paham apa arti merdeka dan tanah air, menghibur seorang ibu yang anaknya ditembus peluru, bernyanyi bagi anak-anak yang kehilangan ayahnya, meneplok nyamuk yang begitu banyak di malam gelap musim hujan, dan seterusnya.
Aku buru-buru menambahkan, “Dan dia selalu merindukan cintanya yang hilang, menulis sajak yang dirahasiakan, dan, menyusun surat cinta yang tak pernah dikirimkan.”
Kau senyum meledek:
“Lalu dia mencoba pulang, entah untuk alasan apa.”
(Kau ini, memang paling bisa).
Dia pulang untuk sesuatu yang masih dirahasiakan, kataku.
Kemudian, dia bertemu dengan cintanya yang membuat menderita itu, yang telah memiliki anak dan rajin bercerita tentang anaknya. Mulai dari ketika dia belajar memanggil ayahnya dengan cadel, sampai soal menyebut bulan sebagai matahari yang datang di malam hari, dan, ingin memindahkannya ke kamar—tentu dengan kemiringan yang sama, 300 dari arah Timur. Mereka berusaha bercakap-cakap seolah tak pernah ada apa-apa; tak pernah mengenali satu sama lain, tak pernah menyentuh satu sama lain.
“Apa pertemuan itu suatu kebetulan?”
Salah satu pertanyaan darinya.
“Kebetulan? Apa itu kebetulan?” Kata si penyair. “Angka dalam lotre murahan yang dijagai lelaki tua di tepi jalan, atau, saat tiba-tiba kita ada dan tiba-tiba tiada?”
“Sayang sekali, sudah tak ada lagi tempat bagimu untuk menyimpan puisi-puisi. Dunia sudah sesak, sudah penuh.”
“Dan sudah menyakitkan bagi perempuan yang baru dicerai; dihapus dari kalimat cinta fiktif.”
Kita diam.
Dendam silih dalam jam digital berwarna merah saga di dekat kondektur yang saling sulih dengan dingin.
Aku menyandarkan punggung, lelah.
Dan kita memang sudah lama tak menyenangkan lagi. Cahaya-cahaya saling berpapas dan melewati. Jalanan berlorong. Berlabirin. Kita seperti melaju dalam pori-pori terumbu karang. Lagu-lagu lambat diayunkan membuat penumpang lain makin lelap. Kita hanya mampu menahan tawa, saat lirik dari Queen seperti sengaja dilemparkan oleh kondektur pada kita: “Too much love, will kill you….” Kita, pada hari yang telah jadi silam, sebenarnya pernah seperti saat ini. Bedanya, ketika itu kau bersandar di bahuku, dan, kadang kau diam-diam mencuri waktu untuk mencium pipiku dan mengatakan:
“Senyummu terlalu manis untuk seorang pemikir yang berlagak serius,” (matamu menggoda).
Dan kita mengisi perjalanan dengan menerka apa-apa yang terjadi di antara rumah pada tepian jalan yang kita lintasi.
“Kamu tahu, anak itu bilang pada ayahnya: Ayah mengapa gula-gula kapas berwarna merah muda?”
Ayahnya bilang, katamu selanjutnya, “Itu karena pedagangnya ingin punya anak perempuan yang cantik, yang punya leher indah.”
“Bukan begitu,” aku merasa tidak setuju, “anak itu justru berkata: Ayah, jangan biarkan aku menjadi dewasa. Kemudian dilahapnya gula-gula kapas itu sambil berdoa agar ia tak lekas menjadi besar. Lihatlah….”
Kau tertawa, mana ada anak kecil secerdas itu. Anggap saja dia pernah mendengar cerita betapa menyakitkannya menjadi dewasa; terbatas dari kebebasan melakukan apa pun, menanyakan apa pun.
Kau menatapku, benarkah kita telah menjadi dewasa? Aku mengangguk. Kita berpelukan. Ada jeda dari musim yang tak mampu kita tahan. Dan kita berganti dari memperhatikan seorang anak dalam gendongan pundak ayahnya, yang sambil menikmati gula-gula kapas merah muda itu, ke seorang nenek keriput yang menjemur padi, dan bukit-bukit.
“Menurutmu, apa yang dikatakan bukit-bukit itu kepada kita?”
Kali itu, giliran aku yang menggodamu, “Beri aku sebuah tanda, kata sang bukit. Beri aku…. sebuah tahi lalat. Sebuah, atau lebih.”
Kau mencubitku, geli.
Kita saling melirik.
“Kalau pohon-pohon itu?”
“Menurutmu?”
“Mmm, apa ya, mungkin, mereka bilang, kalian bisa pergi-pergi, sementara kami, sejak lahir sampai mati berada di sini.”
Kita mengambil waktu untuk memperhatikan mereka. Daun-daunnya bersorak sepi di dekat perlintasan. Entah untuk apa mereka ada, jika tak seorang pun mengakui. Setelah itu, seberapa jarak dari hitungan bulan, kita tak pernah bertemu lagi.
Selain pertanyaanmu yang tiba-tiba melompat: “Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?”
“Kenapa memangnya?”
“Bukankah berbagai pohon dapat tumbuh di tempat yang sama dengan damai?”
“Ya. Kenapa?”
“Ini soal perasaan. Kau tidak akan mengerti.”
Jujur, aku tak tahu harus komentar apa. Kurendahkan sandaran 150 dan mencoba berpikir pada kursi nomor 11, di sebelahmu ini. Hujan pun semakin menembaga.
Dan lampu-lampu lalu lintas memberi tahu lagi, pernikahan kalian memang berbeda agama. Kemudian, berpisah. Zafin dibawa oleh ayahnya.
Bus berhenti sejenak di kota G.
“Aku mengira, seandainya pohon-pohon beragama, hewan-hewan berideologi, dan para jin dan tuyul membuat undang-undang, mendirikan partai, mengendalikan kekuasan, hukum, dan politik, masihkah kita disebut sebagai manusia?”
Seorang penumpang naik.
Perempuan. Tapi tidak sepertimu. Dia mendekat, melihat sana-sini kursi yang kosong.
“Boleh aku duduk di samping Anda?”
“Ini sudah kubeli.”
“Tapi itu kosong?”
“Tidak boleh aku beli kursi kosong?”
“Untuk apa?”
“Ini soal perasaan. Kau tidak akan mengerti.”
“Anda pasti bercanda,” dia senyum, seolah tak percaya. Kutunjukan tiketnya: atas namamu.
“Masih tak percaya?”
Dan dia pun kemudian berlalu, duduk di sebelah kakek-kakek tua, jauh dari tempatku berada dan entah berkata apa.
Sementara jam, masih terus berjalan. (*)
* Menanyakan salah satu baris puisi Goenawan Mohamad, Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam)