- Back to Home »
- Mangongkal Holi
Posted by : Unknown
Sabtu, 09 November 2013
Cerpen Saut Poltak Tambunan
BAH!* Kuburan tua itu kosong? Mestinya tulang belulang sepasang orang tua Benyamin ada di situ. Ternyata tak ada. Maka segeralah berita itu menyebar bagai virus ke kampung. Orang-orang ribut berspekulasi. Terungkap cerita bahwa dahulu sepanjang pinggiran danau itu pernah berkali-kali disapu rata oleh ombak.
”Mungkin saja kuburannya bergeser didorong ombak,” kata seseorang. Seorang nenek tua yang mulutnya merah mengunyah sirih malah mengatakan kuburan itu dipindah sendiri oleh pemiliknya karena tak mau dihantam ombak lagi.
”Bergeser? Kuburan berpindah sendiri?” mata ’Benny’ Benyamin mendelik.
”Pelankan suaramu, Ben,” Ama Ruhut mengingatkan, abang Benny yang tertua. ”Kau tunggu sajalah. Kau terlalu lama sekolah di luar negeri. Banyak yang tak bisa kau fahami dengan akal sehatmu.”
”Kalau mereka tersinggung, bisa ditinggal pergi kita nanti,” tambah Ama Longga – abang nomor dua.
”Aku sederhanakan saja,” kata Ama Ruhut lagi berbisik. ”Kuburan itu memang dibeton pinggirnya, tapi fondasinya jelek. Aku tahu karena ikut mengerjakannya dulu. Bisa saja ombak menggerusnya sedikit-sedikit lalu bergeser.”
Benny coba memaksakan penjelasan itu ke dalam nalarnya. Memang dahulu permukaan air Danau Toba masih tinggi dan di musim badai ombaknya sebesar ombak laut. Belasan tahun belakangan air makin surut sehingga bibir pantai bergeser hampir tigapuluh meter dari tempatnya semula. Berarti kuburan ini dahulu hanya beberapa meter dari bibir pantai. Kuburan lain yang tak jauh dari bibir pantai sudah lama dipindahkan oleh keluarga masing-masing. Tinggal kuburan orang tua Benny, memang sengaja menunggu perhelatan besar’mangongkal holi’ ini.
Mangongkal holi adalah upacara adat menggali kembali tulang belulang leluhur dan memindahkannya ke ’tano na pir’ (tanah keras), maksudnya bangunan beton. Biasanya tulang belulang dari beberapa orang leluhur digali sekaligus, dimasukkan ke dalam peti kecil-kecil dan disemayamkan di situ.
”Ayo, Ben, kita menunggu di sana saja,” Ama Longga menarik lengan Benny menjauh, setengah menyeretnya ke bawah tenda yang didirikan di dekat kuburan. ”Kupingmu sudah lama jadi kuping Jawa, tak biasa lagi mendengar suara orang bicara keras.”
”Keep calm, Ben,” kata Valerina – isterinya sambil mengiringi berjalan dari samping. ”Biar mereka lakukan tugasnya.”
”Bang, aku sejak kemarin tak sabar melihat tingkah orang-orang ini. Permintaannya macam-macam, makan, minum bir, rokok. Kita harus sediakan semua. Sudah begitu kalau bicara asal nyerocos saja. Mereka semua keluarga kita juga, ’kan? Upacara adat ini tanggung jawab bersama, ’kan?” Benny masih protes.
”He he he, itu cukup dalam hatimu saja, Anggia, zaman sudah berubah. Tak ada uang, tak ada sanak saudara,” tukas Ama Longga lirih tertawa.
Mata Benny meredup. Hatinya luruh setiap kali dipanggil Anggia, panggilan pada adik bermuatan sayang. Beda dengan Benny, Ama Longga masih sering pulang kampung untuk ikut upacara adat karena memang tinggal di Medan.
Menjelang tengah hari, penggalian tulang belulang dari lima kuburan leluhur di lokasi lain sudah selesai. Tinggal menunggu tulang belulang orang tua Benny. Diduga, gundukan tanah berpinggir beton itu sudah bergeser dan tidak lagi terletak persis di atas kuburan yang sebenarnya.
”Kuburan yang kita ziarahi selama ini ternyata hanya kuburan kosong,” Ama Longga mulai mengeluh.
Orang-orang tetua dimintai keterangan tentang letak kuburan itu dahulu. Beberapa ’datu’ – dukun menggunakan ilmu yang mereka punya untuk mendeteksi di mana tulang-belulang itu berada. Semua upaya dilakukan, sambil penggalian diteruskan ke sekeliling kuburan. Seluruh keluarga melangitkan doa dengan tegang.
Ompu Koling – seorang yang dituakan di kampung itu menawarkan solusi. Dia bilang, jika tulang belulang tidak ditemukan lagi berarti sudah menjadi tanah. Kalau datu mengizinkan dan para raja adat sepakat, ambil saja tanah dari dasar kuburan itu lalu diupacarakan.
”Ompung, santabi, (mohon maaf). Bukan aku tak mau, tapi izinkan dulu kami berusaha semaksimal mungkin,” kata Ama Ruhut, wajahnya sangat tegang.
Beberapa orang bergantian kesurupan, laki dan perempuan. Bicaranya meracau seperti mabuk tuak. Ditambah lagi dengan hujan deras, suasana makin tak karuan. Penggalian terhambat karena harus menimba air keluar dari lubang galian. Bisikan janji entah apa dari Ama Ruhut, membuat para penggali tidak mau menyerah. Begitu hujan mereda, penggalian diteruskan ke sekitarnya. Sempat bersurak gembira ketika beberapa serpihan tulang diketemukan. Tetapi menurut seorang datu yang kesurupan, bukan itu.
Seseorang mengusulkan agar memanggil ’Datu Ronggur’ dari kampung lain. Konon, dukun ini lebih hebat. Dalam bingungnya, Ama Ruhut setuju. Tetapi setelah dijemput, ternyata ’dukun besar’ itu sedang ke luar kota. Sudah ditelepon oleh keluarganya agar segera pulang.
Benny dan Valerina berteduh di bawah tenda. Tempias hujan memaksa mereka pindah ke dalam mobil. Dua abang Benny tetap berhujan deras memimpin penggalian itu, ditemani oleh beberapa orang tetua.
Menjelang sore hujan reda. Benny turun dari mobil menghampiri kedua abangnya di pinggir lubang penggalian.
”Bagaimana, Bang?”
”Belum. Tapi datu itu bilang kita sudah menggali ke arah yang benar,” sahut Ama Ruhut.”
”Datu itu? Kita merujuk pada omongan datu yang meracau tak jelas itu?”
”Kau yang bilang itu tak jelas. Tapi bagi para tetua yang mengerti, itu jelas.”
”Kalau tak diketemukan …!”
”Harus ketemu. Tak ada tapi, tak ada kalau!” jawab abangnya tegas. Gerahamnya terdengar gemeratak, tak suka adiknya mendesak begitu. Ia juga stress, entah berapa bungkus rokok sudah dihabiskannya sejak tadi.
”Sabarlah, Ben,” Ama Linda menengahi. ”Berdoa saja, Tuhan pasti akan menolong.”
”Bang, aku juga ikut bertanggung jawab,” balas Benny mulai hilang sabar. ”Aku juga berhak bicara. Apakah tak bisa ditunda?”
”Bah, ditunda?” Ama Ruhut melotot, namun akhirnya menurunkan nada bicaranya. ”Begini, Anggia. Perhelatan sudah disiapkan. Undangan sudah disebar. Besok semua sanak keluarga jauh dekat dan raja-raja adat sudah datang dengan rombongan berikut perlengkapan adat. Tak bisa ditunda, Ben, harus ketemu.”
Benny memilih diam. Ia jadi maklum mengapa Ama Ruhut begitu tegang. Tatap matanya kosong menatap kejauhan. Tampak Val menyusul turun dari mobil dan berjalan ke pinggir pantai. Isteri Benny yang bule Australia ini asyik merekam sekeliling dengan camera videonya. Sejak awal dia sangat menikmati prosesi tradisi ini. Semua prosesi adat sebelum memulai penggalian tadi pagi direkamnya lengkap.
Benny perlu mendinginkan kepalanya sebentar. Ia melilitkan ulos Bataknya ke bahu lalu menyusul isterinya.
”Bagaimana?” tanya Val.
”Kata Abang – datu itu sudah menunjuk arah yang benar. Kita tunggu saja,” sahut Benny lalu duduk di atas batu besar dekat bibir pantai. Kakinya berjuntai memercik-mercik air danau.
Sebuah kuburan di puncak bukit tampak mencolok karena berada di posisi strategis ke arah Danau Toba. Kemarin Benny bilang itu menyedihkan. Seharusnya villa yang ada di situ, bukan kuburan.
“Absolutely wonderfull! Aku mau kuburanku nanti seperti itu!” gumam Val justru senang lalu merekam gambarnya hingga ke kaki bukit gundul sekeliling danau. ”Budaya kalian memang selalu ingin memberi yang terbaik buat arwah leluhur.”
Sudah seminggu Benyamin dan Valerina tinggal di kampung. Rumah tua yang sederhana. Di kampung ini banyak rumah tradisional sopo yang sudah mau rubuh tak terawat, sebab kampung dihuni oleh orang-orang yang secara umur dan fisik sudah tidak produktif. Ibu-ibu tua kerja di sawah, sambil sesekali menerima kiriman uang dari anak-anak di parserakan (perantauan).
Mangongkal Holi, upacara adat untuk menghormati leluhur. Sejak semula Benny tak setuju ini. Enam kerangka leluhur mereka akan digali dan disatukan ke tano na pir – kuburan baru yang dibangun megah dari beton. Menyatukan kerangka itu dari beberapa lokasi ke dalam satu kuburan, Benny bisa terima. Tetapi perhelatan adat besar-besaran dengan biaya yang tidak sedikit, tak masuk di akalnya. Belum lagi bangunan kuburan baru yang nyaris sebesar rumah.
”Kita orang Batak. Kau boleh punya gelar segudang, kau boleh keliling dunia, tapi kau tak bisa lepas dari tatanan adat kita. Pasu-pasu sian ompunta do na jinalomi (berkat leluhur kitalah yang kau nikmati sekarang),” kata Ama Ruhut lewat telepon tiga bulan lalu. ”Kau masih ingat Patik Palimahon? Hukum ke-5?”
”Bukan hanya ingat, Bang. Intinya harus mengormati orang tua. Tapi – haruskah begini caranya?”
”Hanya kuburan orang tua kita yang masih terlantar di pinggir pantai itu, lainnya sudah dipindahkan. Orang sekampung sudah sering mengingatkan. Kau memang tidak dengar, tapi kami yang tinggal di kampung? Panas kuping mendengarnya,Anggia,” Ama Ruhut dengan sabar menjelaskan. ”Semua orang tahu kalian adik-adikku sukses di parserakan. Mereka menunggu bukti sukses itu, menunggu kita menjalankan adat Mangongkal Holi leluhur kita. Uang yang kau kirim dulu sudah habis aku pakai untuk bangun kuburan baru itu. Kami juga buat tugu kecil di atasnya. Kau pasti senang melihatnya.”
”Dulu Abang minta uang itu untuk merenovasi rumah warisan,” jawab Benny. ”Kata abang sudah mau rubuh. Makanya aku kirim.”
”Ya, tapi ini lebih prioritas, mendesak.”
”Kuburan orang mati lebih prioritas dari rumah orang hidup?” protes Benny, tapi dalam hati saja. Tak pernah ia berani membantah abangnya ini. Ia selalu sadar, keringat abangnya inilah yang menyekolahkan dia hingga bisa seperti sekarang. Kedua orang tua mereka sudah meninggal ketika ia masih kecil.
Orang suka pesta besar, biaya besar. Sementara jalan ke kampung nyaris tak berubah sejak puluhan tahun lalu. Buruk berlubang-lubang. Penduduk tetap miskin meski sudah ber-tv dan banyak ber-HP. Ironisnya, Valerina yang dinikahinya di Australia itu justru mendukung. Karena itu, untuk urusan uang Ama Ruhut lebih suka meminta Na Ruhut – isterinya menelepon Valerina. Kalau dengan Benny, harus panjang lebar berdebat.
Jabu parsantian, rumah warisan yang ditempati Ama Ruhut itu sebenarnya adalah bagian Benny sebagai anak siampudan (bungsu). Tak boleh dipindah tangankan, apalagi dijual. Karena Benny tinggal di Jakarta seusai tugas belajar di Australia, Ama Ruhut menempatinya daripada kosong. Tetapi biaya perawatan rumah tetap ia minta ke Benny, sementara hasil semua sawah dinikmati sendiri. Benny selalu mengalah pada abangnya ini.
Temaram malam berangsur gelap. Beberapa lampu petromaks dipinjam dari nelayan sekitarnya membuat pekuburan itu terang benderang bagai pasar malam Orang-orang kampung berdatangan seperti laron. Tapi hujan turun lagi. Ama Ruhut makin putus asa.
”Datu Ronggur sudah datang,” bisik Ama Longga tiba-tiba. Bola mata Ama Ruhut berbinar lagi.
Datu Ronggur segera memulai prosesi ritualnya. Aroma magis merebak. Tahu-tahu hujan deras bergeser ke tengah danau. Orang-orang tercengang, mendongak mencari-cari hujan ke langit. Lalu, Ito Riama – adik perempuan Ama Ruhut kesurupan. Datu Ronggur segera mengajaknya berdialog. Dengan suara yang aneh dan mata mendelik, Ito Riama tiba-tiba saja mampu menjelaskan seluruh ’tarombo’ (silsilah keluarga), lalu menunjukkan posisi tulang-belulang, hampir duapuluh meter dari tempat awal penggalian.
Penggalian digegas dengan petunjuk Datu Ronggur. Tak lama kemudian, terdengar suara bersorak dari arah galian: Horas! Horas! Horas!
Benny berlari menghampiri. Dua abangnya berdiri di pinggir lubang galian. Kelelahan membias di wajah mereka, tapi mulai bisa tersenyum lega.
”Puji Tuhan! Sudah ketemu!” seru Ama Ruhut.
Di bawah penerangan petromax, Benny memperhatikan para penggali yang kelelahan itu mengumpulkan tulang belulang. Mereka membersihkannya dari tanah yang melekat dan mencocok-cocokkan, lalu mengumpulkannya dalamampang – bakul tradisi anyaman bambu bersudut empat, setelah dialas dengan tenunan ulos. Nanti akan dimasukkan ke dalam peti kecil yang bentuknya serupa peti mati.
*
ESOKNYA pesta berlangsung meriah. Sanak keluarga jauh dekat berdatangan. Sapi, kerbau, babi bertumbangan disembelih. Gondang sabangunan, musik tradisional Batak bertalu-talu mengiring orang manortor (menari) siang malam. Val tampak sangat senang menerima lembaran uang yang diselipkan di sela jarinya saat manortor. Uangnya tak seberapa, tapi bagi Val sangat eksotik.
Val yang seharusnya tetap manortor di jajaran ibu-ibu keluarga yang empunya hajat, malah sering menghilang karena sibuk mengabadikan seluruh prosesi dengan kameranya. Terutama ketika rombongan yang manortor masuk arena sambil membawa pohon uang, batang bambu lengkap dengan rantingnya berdaun uang yang dijepitkan di ranting-rantingnya. Secara adat uang itu dukungan moral dan dana bagi perhelatan. Ada lagi perempuan tua yang pandaimanortor dengan piring di atas kepalanya, berisi uang dan beras. Val merekamnya utuh dari awal hingga selesai.
Pesta tiga hari tiga malam akhirnya selesai. Biaya ditanggung bersama oleh enam keluarga besar dari leluhur yang tulang belulangnya digali. Benny dan kedua abangnya menyelesaikan biaya yang menjadi beban keluarganya, dibantu secukupnya oleh dua ito, saudara perempuannya. Benny tak perduli dibebankan lebih besar. Secara uang memang dia lebih leluasa, apalagi anaknya di Jakarta baru satu, umur empat tahun. Benny tak mau berbantah-bantah, selain karena sudah jenuh di sini, pikirannya sudah terganggu oleh tugas pekerjaan di Jakarta. Ia mau segera pulang.
Keramaian berakhir. Utang adat terbayar sudah. Dalam pesawat terbang kembali ke Jakarta, tiba-tiba Val memergoki mata Benny basah.
”Kau kenapa, Ben?”
”Aku kacau, Val. Serasa mau gila aku.”
”Semua sudah selesai, ’kan? Kita kembali fokus kerja. Apa lagi?”
”Aku … aku tak yakin tulang belulang itu milik amang dan inang.”
”Hah? Kenapa kau bilang begitu?”
”Amang – inang tinggi besar. Tulang belulang yang aku lihat itu kecil, pendek. Sebenarnya malam itu aku mau protes, tapi mulutku terkunci melihat Abang sudah lelah. Apalagi omongan datu itu pasti lebih dipercaya.”
***
Selasar Pena Talenta, Jan 2011
* Bah: ungkapan khas orang Batak untuk mengespressikan keheranannya.
Diberdayakan oleh Blogger.