Posted by : Unknown Sabtu, 09 November 2013


Cerpen Saut Poltak Tambunan (Koran Tempo, 12 Desember 2010)

1
“SEBENTAR lagi 2011!” kata Jaringkot setengah berbisik. Bola matanya berbinar sambil membacok-bacokkan parangnya ke tanah.
“Ya, sebentar lagi 2011!” balas Leman. Gerahamnya gemeratak, menatap geram ke arah gentong tanah penampung tuak di pucuk pohon enau. Sige, tangga yang terbuat dari sebatang bambu dengan pangkal dahannya sebagai anak tangga, itu sudah rapuh. Tak juga dia berniat menggantinya. Alasannya, sebentar lagi 2011.
Daun bambu berkerisik oleh kesiur angin. Dua lelaki paragat(penyadap) tuak itu berteduh di bawahnya, asyik berbincang tentang kepastian tak terbantahkan itu: “Sebentar lagi 2011!”
2
“SEBENTAR lagi 2011!” kata Karing setengah berbisik seraya menyorongkan langkah pionnya di atas papan catur.
“Iya, sebentar lagi 2011!” balas Barandan terperangah. Suaranya serak dan nyaris tertelan kembali. Langkah kudanya mendadak keliru dan Karing segera memakannya.
“Aduh! Keliru! Kacau aku! Bubarlah, kalah aku!” Barandan kesal lalu mengacak anak-anak catur. Karing merogoh uang taruhan dari bawah papan catur tapi wajahnya muram, tak gembira. Mulutnya pun tak mengejek seperti biasanya kalau menang taruhan.
Orang-orang sekedai kopi itu juga terdiam. Kalimat itu mencerabut nyali mereka: “Sebentar lagi 2011!”
3
“SEBENTAR lagi 2011!” sergah Marni tiba-tiba mengejutkan Pak Kirun. Lelaki separuh baya ini cepat-cepat berdiri dan mengancingkan kemeja kerjanya. Matanya liar ke arah pintu kamar, seakan ada hantu berdiri di balik pintu itu.
“Ya, sebentar lagi 2011!” balas Pak Kirun tergesa memakai sepatunya. Lalu pura-pura sibuk memeriksa pesan singkat di telepon genggamnya. “Saya harus segera ke kantor. Baru teringat, ada rapat dengan Pak Bupati.”
Beberapa lembar uang dia keluarkan dari dompetnya dan diselipkan ke bawah bantal, tak dihitung lagi seperti biasanya. Marni termangu di pinggir tempat tidur, menatap dingin bantal menindih uang, tak ia hitung lagi seperti biasanya.
“Pulang sendiri ya, aku sudah bayar hotelnya,” kata Pak Kirun lagi sebelum menutupkan pintu.
4
“SEBENTAR lagi 2011!” kata Bintang sambil mengikat rambutnya dengan karet gelang. Sebutir keringat menggulirkan diri dari kening gadis itu dan terjun ke ember pakaian kotor.
“Ya, sebentar lagi 2011!” balas Emak datar. Tubuhnya yang renta beringsut perlahan menghampiri batu besar untuk duduk di pinggir sungai. Matanya nanar menatap ke arah tanggul, seakan mencari-cari seseorang berdiri di sana.
“Kita harus bagaimana, Mak?” suara Bintang memelas.
“Bagaimana lagi? Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Sudah takdir kita begini, cobaan datang bertimpas-timpas,” jawab Emak luruh, suaranya lenyap dirampas angin.
5
“SEBENTAR lagi 2011!” Entah siapa yang memulai, tahu-tahu kalimat pendek ini sudah menyebar bagai virus. Menyelusup diam-diam ke setiap hati dan menggetarkannya dari dalam. Kalimat itu berkelindan di lapo tuak, kedai kopi, di ladang, di pinggir sungai tempat perempuan mencuci pakaian, di pasar, di kantor camat dan bupati bahkan di kantor polisi.
Perbincangan tentang 2011 itu selalu berlangsung dengan bisik-bisik. Ada yang gemetar dengan kengerian menyaput wajahnya, mulutnya terkunci tapi kupingnya dipasang lebar-lebar. Sebaliknya ada yang membincangkannya dengan bola mata berbinar, meski tetap berbisik. Semua tegang, seolah “sebentar lagi tahun 2011” akan mengubah segalanya di kota kecil ini.
Kericau burung seakan ikut bungkam. Kupu-kupu serta putri malu pun masih melipat sayap dan daunnya meski hari sudah siang.Paragat tuak menemukan pohon enau enggan meniriskan tuaknya di kendi penadah. Hanya sungai kecil di pinggir kampung yang tak berubah, tetap setia pada gemerciknya pecah di batu. Sungai memang tak bertelinga, asyik dengan arusnya sendiri.
Lain halnya dengan anak-anak. Mereka tidak berbisik, malah berteriak ketika merasa dicurangi berebut layangan putus: “Awas kau, ya, lihat saja nanti! Sebentar lagi sudah 2011!”
Sepuluh tahun ternyata sangat singkat. Rasanya baru kemarin pagi orang sekampung menemukan mayat Sangkot dan Lintong di pinggir sungai, penuh luka bekas parang di tubuhnya. Siang harinya Bonggar digiring polisi. Dia berteriak-teriak marah, meronta dan lari hingga polisi melumpuhkannya dengan tembakan ke kakinya.
Bagi sebagian besar orang kampung, sebenarnya tak jelas siapa yang membunuh Sangkot dan Lintong, anak muda yang beberapa hari sebelumnya bersitegang dengan Bonggar di pasar. Semalaman preman yang selalu menyelipkan parang di pinggangnya ini mabuk dilapo tuak si Marolop hingga pulangnya tersungkur masuk parit. Semua orang tahu itu. Biasanya, paling cepat besok tengah hari barulah dia bisa berjalan lurus.
Bonggar sangat ditakuti, konon ia berilmu kebal. Jangan lagi menatap matanya yang selalu merah, menyebut namanya saja wajib gemetar. Tapi bagaimana mungkin dia bisa menghabisi dua anak muda kekar sekaligus dengan semabuk itu?
Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja ada orang-orang yang bersaksi memberatkan Bonggar. Dan, orang-orang ini bahkan tak berani menatap mata Bonggar di persidangan. Emak dan Bintang, adik Bonggar, sampai menangis bersumpah kalau malam itu Bonggar tidur di kandang kerbau karena Marni, isterinya, dilarang Emak bukakan pintu. Anehnya lagi, bisa-bisanya Marni mengaku ketiduran dan sama sekali tidak mendengar Bonggar pulang malam itu.
“Dasar lonte!” maki Bintang ketika itu di pengadilan. Memang, Bonggar mengenal Marni di kafe kota provinsi dan mengajaknya kawin.
5
“PINDAH? Kabupaten mana yang mau terima kau?” Pak Katua melotot. “Di kantor sini kau sudah enak kubikin.”
“Ke mana sajalah. Pak Katua kan anggota dewan, pastilah punya kenalan di kabupaten lain. Kalau bisa ke Pemprov sekalian,” Pak Kirun menjelaskan.
“Alasanmu?”
“Pak Katua lihat sendiri, bertahun-tahun karierku begini-begini saja. Tidak berkembang.”
“Halah, banyak alasan kau. Aku tahu bukan itu. Karena sebentar lagi sudah 2011 kan?”
“Ah, iya, iya, syukurlah Pak Katua mengerti.”
“Salahmu. Isterinya pun kau tiduri!”
“Alamak!”
“Jangan mungkir. Semua laporan ada di laciku ini.”
“Tapi Pak Katua juga dulu ikut bersaksi kan?” sergah Pak Kirun tak mau kalah gertak.
“Kau juga!” balas Pak Katua.
“Tapi kalau Sangkot dan Lintong tak mati, Pak Katua pun tak akan duduk di Dewan ini.”
“Alamak!” kini giliran wajah Pak Katua yang berubah sepucat ampas tebu. Jelas ini ancaman dari kartu as yang dipegang Pak Kirun.
“Ya, memang sudah mau 2011!” gumam Pak Katua kemudian perlahan dengan mata mendelik, seperti melihat hantu.
“Bagaimana, Pak? Bisa bantu aku pindah mutasi?”
“Ah, mati sajalah kau! Tambah pusing kepalaku kau bikin!”
6
DI PASAR ibu kota kabupaten kecil itu, kelompok orang-orang mulai terbelah diam-diam. Sebagian mulai berani membusungkan dada, sebagian berbalik merunduk-runduk, lainnya waswas mencari arah angin. Ada yang merasa kiamat akan tiba. Sebaliknya ada yang menunggu matahari 2011 lebih cerah dari sepuluh tahun belakangan dan sinarnya akan begitu kuat mencerahkan.
Teman-teman Bonggar yang selama ini menyingkir dari pasar dan beralih ke ladang jadi petani dan penyadap tuak, sudah mulai menggambar peta kekuasaan pasar kembali. Sebaliknya anak-anak muda yang menguasai pasar selama sepuluh tahun belakangan mulai mengencangkan tali sepatunya.
“Sebentar lagi sudah 2011, Emak,” bisik Bintang mengguncang kaki Emak yang berbaring di sampingnya. “Menurut perasaan Emak, Bang Bonggar masih hidup?”
“Sudah ribuan kali kau tanyakan itu.”
“Emak tak pernah mimpi?”
“Tidak,” jawab Emak. “Emak cuma dapat kabar sekali itu saja dari pakcikmu. Katanya setelah lari dari penjara, abangmu kirim sms dari Aceh.”
“Itu juga sudah ribuan kali Emak ceritakan,” Bintang gemas. “Setelah itu ada tsunami ‘kan? Lalu orang bilang Bang Bonggar hilang disapu tsunami hanya karena setelah itu tak ada kabarnya kan?”
“Ya, tapi banyak yang bilang abangmu tertangkap lagi lalu dipindah ke Nusa Kambangan.”
“Aku sudah bosan dengar itu, Mak. Aku hanya ingin tahu firasat, Mak, Bang Bonggar masih hidup atau sudah mati.”
“Sudahlah, sebentar lagi sudah 2011. Kalau masih hidup, ia akan bebas dan pulang.”
Bintang tak banyak bertanya lagi. Tangis Emak mengunci mulutnya.
“Iya, Mak, sebentar lagi 2011,” Bintang mendesah lalu merebahkan tubuhnya di samping Emak. (*)


Selasar Pena Talenta, November 2010.
Saut Poltak Tambunan tinggal di Jakarta.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda Pembaca ke

Popular Post

Arsip Blog

- Copyright © HansTheoSimorangkir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -